20 Juli 2008

Sekilas Tentang HMI

Sebagai organisasi mahasiswa tertua di Indonesia yang didirikan oleh Lafran Pane pada tanggal 5 Februari 1947 di Yogyakarta, format awal gerakan HMI selain memberikan pembinaan agama Islam kepada mahasiswa dan masyarakat untuk mengantisipasi pengaruh sekulerisme Barat juga mengerahkan milisi mahasiswa untuk berjuang secara fisik dalam rangka mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Dalam perkembangannya perjalanan sejarah HMI hingga terbentuknya HMI-MPO telah mengalami proses pematangan konsepsi gerakan. Ditingkat internal, tujuan HMI juga telah mengalami perubahan sampai enam kali. Hal ini menunjukkan bahwa HMI MPO senantiasa menyikapi secara kritis dinamika melingkupinya dengan tetap berupaya menegaskan prinsip-prinsip vital gerakannya.

Format gerakan HMI mengalami perubahan besar sejak munculnya HMI MPO yang menjadi simbol perlawanan kelompok-kelompok kritis dalam HMI. lahirnya anak haram HMI MPO dari tubuh HMI telah merubah pakem gerakan HMI yang semula selalu lebih banyak akomodatif terhadap kekuasan (state) menjadi gerakan kritis yang menjadi oposisi negara.

HMI MPO terlahir sebagai sosok anak haram dalam gua garba orde baru. Ditengah situasi kehidupan kebangsan dihegemoni militer, dalam suasana kebungkaman warga negara dan diliputi ketakutan untuk berbeda, HMI MPO hadir sebagai sosok pendekar yang berani berteriak lantang menentang kekuasaan. HMI MPO-lah satu-satunya organisasi Islam yang pertama kali menuntut turunnya Suharto dari kursi kepresidenan. Maka tak heran jika selama kekuasaan orde baru, HMI MPO menjadi organisasi 'bawah tanah' yang berjuang melawan rezim dengan segala resikonya.

Tambahan nama MPO (Majelis Penyelamat Organisasi) di belakang HMI sebenarnya muncul saat menjelang kongres HMI XVI yang diselenggarakan di Padang pada tanggal 24-31 Meret 1986. Menjelang diselenggarakannya kongres HMI XVI di Padang, Sumatera barat, tahun 1986. Mulanya MPO merupakan nama sekelompok aktivis kritis HMI yang prihatin melihat HMI begitu terkooptasi oleh rezim orde baru. Kelompok ini merasa perlu bergerak untuk mengantisipasi intervensi penguasa pada HMI dengan mewajibkan HMI mengubah azasnya yang semula Islam menjadi pancasila. Bagi aktivis MPO, perubahan azas ini merupakan simbol kemenangan penguasa terhadap gerakan mahasiswa yang akan berdampak pada termatikannya demokrasi di Indonesia.

Untuk menyampaikan aspirasinya, mula-mula forum MPO ini hanya berdialog dengan PB (pengurus besar) HMI. Akan tetapi karena tanggapan PB yang terkesan meremehkan, maka akhirnya MPO melakukan demonstrasi di kantor PB HMI (Jl. Diponegoro 16, Jakarta). Demonstrasi tersebut ditanggapi PB HMI dengan mengundang kekuatan militer untuk menghalau MPO. Beberapa anggota MPO malah ditangkap oleh aparat dengan tuduhan subversif. Akhirnya simpati dari anggota HMI mengalir dan gerakan ini menjadi semakin massif.

Akhirnya dalam forum kongres di Padang tesebut terpecahlah HMI menjadi dua, yaitu HMI yang menerima penerapan asas tunggal (HMI DIPO) dan HMI yang menolak asas tunggal (HMI MPO). Selanjunya kedua HMI ini berjalan sendiri-sendiri. HMI DIPO eksis dengan segala fasilitas negaranya, dan HMI MPO tumbuh menjadi gerakan underground yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan negara. Jama’ah HMI MPO walaupun sedikit namun kompak, mereka yakin bahwa apa yang diperjuangkannya untuk tetap bertahan dan berjuang mempertahankan Islam sebagai azas.Sejarah mencatat, setelah reformasi setelah azas tunggal pancasila dicabut, berbondong-bondonglah ormas-ormas dan orpol-orpol kembali ke azas semula. Tak terkecuali HMI DIPO, akhirnya mereka kembali kepada azas Islam.

Dalam konteks ini, kita dapat mengatakan bahwa perjuangan HMI MPO untuk tetap mempertahankan azas Islam merupakan bentuk konsistensi sebuah gerakan mahasiswa dalam melakukan perlawanan terhadap penindasan negara. HMI MPO berani menanggung resiko perjuangan untuk dikucilkan dan ditekan. Karena keistiqomahan dan keyakinannya maka HMI MPO dicatat sebagai satu-satunya organisasi yang sejak awal berani menolak kebijakan rezim orde baru yang korup.

Harapan dari Taman Ubud

oleh: Syahrul E Dasopang

Telah banyak usaha untuk mengumpulkan potensi keluaga besar HMI MPO. Pada tahun 2001 misalnya dengan sukses diselenggarakan syawalan keluarga besar HMI MPO di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. Saat itu cukup banyak keluarga besar HMI MPO yang menyempatkan diri hadir. Namun selepas agenda itu, nyaris tidak terdengar lagi tindak lanjut dari pertemuan tersebut.

Sekarang terbit lagi keinginan untuk mengumpulkan kembali keluarga besar HMI MPO. Penggagas sekaligus penggiatnya adalah Awalil Rizky. Tentu bukan hal yang baru bagi seorang Awalil menyelenggarakan kegiatan semacam ini. Tahun 2007, ia sukses menjadi panitia kegiatan serupa yang dilaksanakan di Yogyakarta.

Pada pertemuan Taman Ubud, 11 Juli 2008 yang lalu, dibicarakan penyusunan rencana pertemuan alumni HMI MPO di Jakarta secara besar-besaran. Hadir pada malam itu, Egi Sudjana, Saat Suharto, Nasyit Majdi, Ridaya Laode, Farid Alhabsyi, MY Gunawan, Firman, dan masih banyak lagi. Saya sendiri turut dalam pertemuan itu.

Pendeknya, setiap orang yang hadir pada malam itu menyadari betapa pentingnya jika berhasil mewujudkan acara yang dikemas dengan syawalan tersebut. Syawalan yang mempertemukan keluarga besar HMI MPO yang bertebaran di mana-mana itu tentulah sangat penting. Bukan saja sebagai sinyal eksistensi keluarga besar HMI MPO kepada publik, tetapi juga jika dibidani dan dirawat dengan baik, tentulah akan berkembang menjadi entitas sosial-politik dan ekonomi yang patut diperhitungkan. “Keluarga besar HMI MPO jangan dikira tidak bisa menjadi pasar yang penting, “ ujar Egi Sudjana yang merasa interest dengan gagasan yang disodorkan oleh Awalil tersebut.

Modal Sosial HMI MPO

HMI MPO eksis sejak 1986. Berarti keberadaannya di tengah-tengah masyarakat telah mencapai 22 tahun. Dari awal berdiri hingga jatuhnya Soeharto pada tahun 1998 yang menandai terbukanya kebebasan berorganisasi, HMI MPO didukung secara konsisten oleh 7 cabang yang terdiri atas Cabang Jakarta, Yogyakarta, Semarang, Purwokerto, Wonosobo, Ujung Pandang dan Palopo. Kita asumsikan saja secara rata-rata apabila masing-masing 7 cabang tersebut menghasilkan 200 kader tiap tahunnya, maka selama 22 tahun jumlah kader HMI MPO untuk 7 cabang saja sudah 30.800 orang. Penghitungannya adalah 7x200x22=30.800. Ini merupakan angka yang moderat. Dan setelah reformasi, 10 tahun kemudian, cabang HMI MPO bertambah sebanyak 40 cabang. Tentu saja pertambahan ini terjadi dalam tahun-tahun yang berbeda. Sekarang kita asumsikan saja, masing-masing cabang tambahan tersebut rata-rata menghasilkan 20 orang kader setiap tahunnya, maka sekarang jumlah kader untuk 40 cabang tersebut adalah 8.000 orang. Penghitungannya adalah 40x20x10=8.000. 8.000 ditambah 30.800 adalah 38.800. Kiranya keluarga besar HMI MPO lebih dari angka itu.

Apabila diperiksa laporan data pada 2005 yang pernah diberikan oleh cabang-cabang di seluruh Indonesia, cabang Yogyakarta merupakan urutan teratas dalam hal kuantitas kader. Setiap tahunnya dilaporkan cabang tersebut menghasilkan 1.000 kader lebih. Jika ini saja yang menjadi patokan, tentu dalam 22 tahun cabang Yogyakarta telah menghasilkan 22.000 kader.

Nah, itu baru merupakan angka di atas kertas. Modal material HMI MPO adalah tersebarnya kader-kader HMI MPO di berbagai lini kehidupan. Hal ini dapat menjadi modal jaringan. Beberapa kader HMI MPO tersebut sudah tampak menonjol di “lahan’ yang ia geluti. Seperti harapan Egi Sudjana, jika saja setiap kader HMI MPO tersebut fungsional dan saling menjaga komunikasi, tentu tingkat determinasinya untuk kebaikan HMI dan masyarakat akan lebih signifikan.

Persoalannya adalah mewujudkan gagasan sinergi dan penguatan solidaritas keluarga besar HMI MPO bukanlah pekerjaan yang mudah. Dibutuhkan kesabaran, kegigihan, dan ketelatenan di dalam merawat dan memekarkan sinergi dan solidaritas tersebut. Apabila syarat itu dapat dipenuhi, agaknya pertemuan di jalan Taman Ubud, Rasuna Said tersebut merupakan langkah awal bagi bangkitnya keluarga besar HMI MPO di dalam percaturan sosial politik nasional. HMI MPO Connection sebagai entitas sosial telah lama tidur dan tidak ambil peduli dengan pergulatan politik dan ekonomi yang sedang berkembang pesat dewasa ini. Dan kini Awalil tengah berusaha membangkitkan kita semua.

Syahrul E Dasopang, Ketua PB HMI (MPO) 2007-2009